Muhammad bin Hibban bin Ahmad bin Hibban atau Hatim at-Tamimi al-Busti as-Sijistani
صحيح ابن حبان ٧٥١: أَخْبَرَنَا عُمَرُ بْنُ سَعِيدِ بْنِ سِنَانٍ بِمَنْبَجٍ، حَدَّثَنَا حَامِدُ بْنُ يَحْيَى الْبَلْخِيُّ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ، عَنِ الزُّهْرِيِّ. ثُمَّ سَمِعْتُهُ عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: مَا أَذِنَ اللَّهُ لِشَيْءٍ مَا أَذِنَ لِنَبِيٍّ يَتَغَنَّى بِالْقُرْآنِ.قَالَ أَبُو حَاتِمٍ: قَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَتَغَنَّى بِالْقُرْآنِ، يُرِيدُ يَتَحَزَّنُ بِهِ، وَلَيْسَ هَذَا مِنَ الْغُنْيَةِ، وَلَوْ كَانَ ذَلِكَ مِنَ الْغُنْيَةِ لَقَالَ: يَتَغَانَى بِهِ، وَلَمْ يَقُلْ: يَتَغَنَّى بِهِ، وَلَيْسَ التَّحَزُّنُ بِالْقُرْآنِ نَقَاءَ الْجِرْمِ، وَطِيبَ الصَّوْتِ، وَطَاعَةَ اللَّهَوَاتِ بِأَنْوَاعِ النَّغَمِ بِوِفَاقِ الْوِقَاعِ، وَلَكِنَّ التَّحَزُّنَ بِالْقُرْآنِ هُوَ أَنْ يُقَارِنَهُ شَيْئَانِ: الأَسَفُ وَالتَّلَهُّفُ: الأَسَفُ عَلَى مَا وَقَعَ مِنَ التَّقْصِيرِ، وَالتَّلَهُّفُ عَلَى مَا يُؤْمَلُ مِنَ التَّوْقِيرِ، فَإِذَا تَأَلَّمَ الْقَلْبُ وَتَوَجَّعَ، وَتَحَزَّنَ الصَّوْتُ وَرَجَّعَ، بَدَرَ الْجَفْنَ بِالدِّمُوعِ، وَالْقَلْبَ بِاللُّمُوعِ، فَحِينَئِذٍ يَسْتَلِذُّ الْمُتَهَجِّدُ بِالْمُنَاجَاةِ، وَيَفِرُّ مِنَ الْخَلْقِ إِلَى وَكْرِ الْخَلَوَاتِ، رَجَاءَ غُفْرَانِ السَّالِفِ مِنَ الذُّنُوبِ، وَالتَّجَاوُزِ عَنِ الْجِنَايَاتِ وَالْعُيُوبِ، فَنَسْأَلُ اللَّهَ التَّوْفِيقَ لَهُ.
Shahih Ibnu Hibban 751: Umar bin Sa’id bin Sinan mengabarkan kepada kami, Hamid bin Yahya Al Balkhi menceritakan kepada kami, Sufyan menceritakan kepada kami, dari ‘Amr bin Dinar, dari Az-Zuhri, kemudian aku juga mendengarnya dari Az-Zuhri, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda, “Allah tidak pernah mendengarkan sesuatupun (dengan kesungguhan) seperti ketika Dia mendengarkan Nabi-Nya melagukan (bacaan) Al Qur'an (membacanya dengan nada sedih).” 39 Abu Hatim berkata: Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, “yataghanna bil Qur’an”, maksudnya adalah ber tahazzun(membaca Al Qur'an dengan perasaan sedih), dan bukan melagukan bacaan Al Qur'an. Seandainya yang dimaksud dengannya adalah melagukan, maka redaksi haditsnya berbunyi “yataghaana bihi” dan bukan dengan “yataghanna bihl” 40 Bertahazzun dengan Al Qur'an tidak mesti diwujudkan dengan menggunakan kerongkongan yang bersih (suara yang halus), suara yang merdu, dan taatnya para penghibur mengikuti berbagai macam simponi yang dapat menimbulkan fitnah. Akan tetapi bertahazzun itu harus diiringi dengan dua hal: kesedihan yang mendalam, dan penyesalan yang mendalam; kesedihan yang mendalam atas sesuatu yang telah terjadi berupa kekurangan (pada sikap dan amal perbuatan), dan penyesalan yang mendalam atas sesuatu yang diharapkan berupa keagungan diri. Bila hati telah merasa sakit dan pedih, lalu lisan pun mengeluarkan suara yang sedih dan terputus-putus, maka pelupuk mata akan mencucurkan air mata dan hati akan tampak bersinar. Pada saat itulah, orang yang bertahajjud akan merasakan kenikmatan melalui munajat-nya itu. Lalu dia akan menjauhi orang-orang dan akan lebih sering menyendiri (untuk beribadah), dengan harapan dapat memperoleh ampunan atas dosa-dosanya yang telah lalu, kemudian kesalahan-kesalahan dan aib-aibnya pun ditutupi. Kami memohon kepada Allah SWT taufik (petunjuk dan kemampuan) untuk melakukan hal itu.
Shahih Ibnu Hibban Nomer 751