Hadits Shahih Ibnu Hibban

Hadits Shahih Ibnu Hibban

Muhammad bin Hibban bin Ahmad bin Hibban atau Hatim at-Tamimi al-Busti as-Sijistani

Biografi Ibnu Hibban


صحيح ابن حبان ١٨٤: أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُمَرَ بْنِ يُوسُفَ بْنِ حَمْزَةَ، قَالَ‏:‏ حَدَّثَنَا نَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ الْجَهْضَمِيُّ، قَالَ‏:‏ حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ الْمُفَضَّلِ، عَنْ أَبِي مَسْلَمَةَ، عَنْ أَبِي نَضْرَةَ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ، قَالَ‏:‏ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ‏:‏ أَمَّا أَهْلُ النَّارِ الَّذِينَ هُمْ أَهْلُهَا، فَإِنَّهُمْ لاَ يَمُوتُونَ فِيهَا وَلاَ يَحْيَوْنَ، وَلَكِنْ نَاسٌ أَصَابَتْهُمُ النَّارُ بِذُنُوبِهِمْ، أَوْ قَالَ‏:‏ بِخَطَايَاهُمْ، حَتَّى إِذَا كَانُوا فَحْمًا أُذِنَ فِي الشَّفَاعَةِ، فَجِيءَ بِهِمْ ضَبَائِرَ ضَبَائِرَ، فَبُثُّوا عَلَى أَهْلِ الْجَنَّةِ، ثُمَّ قِيلَ‏:‏ يَا أَهْلَ الْجَنَّةِ، أَفِيضُوا عَلَيْهِمْ، قَالَ‏:‏ فَيَنْبُتُونَ نَبَاتَ الْحِبَّةِ تَكُونُ فِي حَمِيلِ السَّيْلِ، فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ‏:‏ كَأَنَّهُ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْبَادِيَةِ‏.‏

Shahih Ibnu Hibban 184: Muhammad bin Amru bin Yusuf bin Hamzah mengabarkan kepada kami, dia berkata: Nashr bin Ali Al Jahdhami menceritakan kepada kami, dia berkata: Bisyr bin Al Mufhadhdhal menceritakan kepada kami dari Abu Maslamah dari Abu Nadhrah dari Abu Sa’id, dia berkata: Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda; “Adapun para penghuni neraka yang menjadi penduduk neraka, maka sesungguhnya mereka itu tidak pernah mati di dalam neraka dan tidak juga hidup. Hanya saja, manusia terkena sengatan api neraka dengan sebab dosa-dosa mereka —atau dia berkata, dengan sebab kesalahan-kesalahan mereka- hingga ketika mereka telah menjadi seonggok arang, pintu syafa ’at diizinkan. Lalu mereka pun dihadirkan secara berkelompok. Mereka kemudian dihalau menuju para penghuni surga. Lalu dikatakan, “Wahai para penghuni surga, tuangkan untuk mereka.” Dia berkata: Lalu mereka tumbuh laksana tumbuhnya benih di tepian air yang mengalir. Lalu seorang laki-laki dari kaum berkata, “Seakan-akan Rasulullah berada di desa pedalaman (yakni saking tepatnya dalam menggambarkan benih yang tumbuh).” 3:80.

Shahih Ibnu Hibban Nomer 184